HUKUM WAKAP

Wakaf merupakan perbuatan amal yang pada garis besarnya untuk mendapatkan pahala dari Allah SWT namun kebanyakan tidak memahami makna, prosudur, dan Hukum yang sebetulny terutama di Indonesia sehingga pada kemudian hari tidak sedikit yang timbul dari kegiatan amal itu malah menjadi permasalahan. Dalam disiplinnya, disini saya hanya akan menjelaskan tentang Hukum Perwakafan. Sebelum menguraikannya perlu di pahami terlebih dulu apa itu yang disebut wakaf?

Kata wakaf atau waqf (الوقف) berasal dari bahasa Arab yang berasal dari akar kata wa-qa-fa ((وقف berarti menahan, berhenti,diam di tempat atau berdiri. Kata waqafa-yaqifu-waqfan semakna dengan kata habasa-yahbisu-tahbisan (الحبس عن التصرف) maknanya terhalang untuk menggunakan. Kata waqf dalam bahasa Arab mengandung makna: (الوقف بمعنى التحبيس التسبيل) artinya: menahan, menahan harta untuk di wakafkan, tidak di pindah milikan.

Dalam bahasa Arab, istilah wakaf kadang-kadang bermakna objek atau benda yang di wakafkan (al-mauquf bih) atau dipakai dalam pengertian wakaf sebagai institusi seperti yang dipakai dalam perundang-undangan Mesir. Di Indonesia, term wakaf dapat bermakan objek yang diwakafkan atau institusi.[1]

Menurut istilah meskipun terdapat perbedaan penafsiran, disepakati bahwa makna wakaf adalah menahan dzatnya benda dan memanfaatkan hasilnya atau menahan dzatnya dan menyedekahkan manfaatnya.[2] Adapun perbedaan pendapat para ulama Fiqih dalam mendefinisikan wakaf diakibatkan cara penafsiran dalam memandang hakikat wakaf. Perbedaan pendangan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut.[3]

a. Abu Hanifah

“Wakaf adalah menahan suaatu benda yang menurut Hukum, tetap milik si wakaf dalam rangka mempergunakan manfaatnya untuk kebajikan”. Berdasarkan definisi itu maka pemilikan harta wakaf tidak lepas dari si wakif, bahkan ia dibenarkan menariknya kembali dan ia boleh menjualnya. Jika si wakif wafat, harta tersebut menjadi harta warisan buat ahli warisnya. Jadi yang timbul dari wakaf hanyalah “menyumbangkan manfaat”. Karena itu madzhab Hanafiyah mendefinisikan “wakaf adalah tidak melakukan suatu tindakan atas suatu benda, yang bersetatus tetap sebagai hak milik, dengan menyedekahkan manfaatnya kepada suatu pihak kebajikan (sosial), baik sekarang maupun akan datang”.

b. Madzhab Maliki

Madzhab Maliki berpendapat bahwa wakaf itu tidak melepaskan harta yang di wakafkan dari kepemilikan wakif, namun wakaf tersebut mencegah wakif melakukan tindakan yang dapat melepaskan kepemilikannya atas harta tersebut kepada yang lain dan wakif berkewajiban menyedekahkan manfaatnya serta tidak boleh menarik hartanya untuk digunakan oleh Mustahiq (Penerima Wakaf), walaupun yang dimilikinya itu berbentuk upah, atau menjadikan hasilnya untuk dapat digunakan seperti mewakafkan uang. Wakaf dilakukan dengan mengucapkan lafadz wakaf untuk masa tertentu sesuai dengan keinginan pemilik. Dengan kata lain, pemilik harta menahan harta itu dari penggunaan secara kepemilikan, tetapi membolehkan pemanfaatan hasilnya untuk tujuan kebajikan, yaitu pemberian manfaat benda secara wajar sedang benda itu tetap milik si wakif. Perwakafan itu berlaku untuk suatu masa tertentu, dan karenanya tidak boleh disyaratkan sebagai wakaf kekal (selamanya).

c. Madzhab Syafi’iyah, Hanbaliyah, dan sebagian Hanafiyah

Madzhab ini berpendapat bahwa wakaf adalah mendayagunakan harta untuk diambil manfaatnya dengan mempertahankan dzatnya benda tersebut dan memutus hak wakif untuk mendayagunakan harta tersebut. Wakif tidak boleh melakukan apa saja terhadap harta yang di wakafkan. Berubahnya setatus kepemilikan dari milik seseorang, kemudian di wakafkan menjadi milik Allah. Jika wakif wafat, harta yang diwakafkan tersebut tidak dapat diwarisi oleh ahli waris. Wakif menyalurkan manfaat harta yang di wakafkannya kepada Mauquf ‘alaih (orang yang diberi wakaf) sebagai sedekah yang mengikat, dimana wakif tidak dapat melarang menyalurkan sumbangannya tersebut. Apabila wakif melarangnya, maka Qadhi berhak memaksanya agar memberikannya kepada Mauquf ‘alaih. Karena itu Madzhab ini mendefinisikan wakaf adalah tidak melakukan suatu tindakan atas suatu benda, yang bersetatus sebagai milik Allah SWT, dengan menyedekahkan manfaatnya kepada suatu kebajikan (sosial).

1. DASAR HUKUM WAKAF

Wakaf dalam Al-Qur’an

يَا اَيُّهَا الَّذِينَ اَمَنُوا اَرْكَعُواوَسْجُدُواوَعْبُدُوارَبَّكُمْ وَفْعَلُواالْخَيْرَلَعَلَّكُمْ تُفْلِحُون

“Hai orang-orang yang beriman, ruku’lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah TuhanMu dan Perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan”. (QS. Al-Hajj (22): 77)

Kata Khair (kebaikan) yang secara umum dimaknai salah satunya dalam bentuk member seperti wakaf, dan berlaku untuk bentuk-bentuk Charity (amal baik) atau Endowment (sumbangan) yang lain yang bersifat Filantrofi, tentunya dalam ajaran Islam.

لَنْ تَنَالُواالبِرَّحَتَى تُنْفِقُوامِمَّاتُحِبُّوْنَ وَمَاتُنْفِقُوامِنْ شَيْءٍ فَاءِنَّ اللّهَ بِهِ عَلِيْمٌ

“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan yang sempurna, sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya”. (QS. Ali Imran (3): 92)

Berbeda dengan kata Khair (kebaikan), kata Birr (kebaikan) terkait erat dengan kata Infaq (memberi). Kata Birr ini terletak antara huruf Lan (mengandung makna tidak untuk selamanya) dan Hatta (hingga atau sampai yang berhubungan dengan tindakan). Sehingga ada tiga kata kunci pada ayat ini sehingga sering kali dijadikan dalil utama dalam wakaf yang bersumber dari Al-Qur’an, (1) kebaikan, (2) tindakan infak, dan (3) harta yang dimiliki adalah yang paling di cintai. Psikoanalisis mengatakan tidak mungkin orang memberikan harta yang paling di cintai kepad orang lain demi kebaikan. Salah satu analisis itulah sehingga kebaikan dalam konteks kata Birr sulit untuk dilakukan. Oleh para penafsir model Infak seperti, digolongkan sebagai Wakaf, bukan bentuk pemberian yang lain.

Wakaf dalam Hadits

Ada beberapa hadis yang dianalisis menjelaskan tentang wakaf. Hadits-hadits tersebut antara lain:

حَدَّ شَنَا يحيى بْنُ ايُّوبَ وفَتَيْبَةُ يَعْنِيٍ ابنُ حُجْرٍقَالُواحَدَّشَنَااِسْمَعِيلُ هُوَابْنُ جَعْفَرٍعَنْ الْعَلإَ عَنْ اَبِي هُرَيْرَةَ اَنَّ رََسُولَ اللّه صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ اِذَامَاتَ الانْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ اِلاَّمِنْ شَلإَشَةٍ,صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ اَوْعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ اَوْوَلَّدٍصَلِحٍ يَدْعُولَه.

Artinya:

“dari abi Hurairah r.a. susungguhnya Rasulullah Saw berkata: jika seseorang telah meninggal dunia, maka terputuslah semua amal dari dirinya kecuali tiga, yaitu sadakah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak saleh yang mendoakan kepadanya (kepada orang tuanya)”.

Pada ahli hadits dan kebenyakan ahli fiqh mengidentifikasikan bahwa wakaf termasuk sadaqah jariyah, kecuali al-Dzahiri. Dalam hadits tersebut bahwa sadaqah jariyah direalisasikan dalam bentuk wakaf yang pahalanya mengalir terus menerus kepada si wakif.

Hadis yang lebih tegas menggambarkan dianjurkannya wakaf, yaitu hadits riwayat ibn Umar tentang tanah khairbar. Berikut bunyi hadis tersebut:

حدَّشَنَا يَحْيَى بنُ يَحْيَى التَّمِيْمِيّ اَخْبَرَنَا سُلَيْمُ بنُ اَخْضَرَعَنْ ابنِ عَوْنٍ عَن نَافِعٍ عَن ابنِ عُمَرَقَالَ اَصَابَ عُمَرُاَرْضًا بِخَيْبَرَفَاَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتًامِرُهُ فِيْهَافَقَالَ يَارَسُولَّ اللّه اِنّي أَصَبْتُ أَرْضًا بِخَيْبَرَلَمْ أُصِبْ مَالاًقَطُّ هُوَأَنْفَسُ عِنْدِي مِنْهُ فَمَاتَأْمُرُنِي بِهِ قَالَ اِنْ شِئْتَ حَبَسْتَ أَصْلَهَاوَتَصَدَّقْتَ بِهَا قَالَ فَتَصَدَّقَ بِهَا عُمَرُاَنَّهُ لاَيُبَاعُ أَصْلُهَاوَلاَيُبْتَاعُ وَلاَيُوْرَثُ وَلاَيُوهَبُ قَالَ فَتَصَدَّقَ عُمَرُفِي الْفُقَرَاء وَفِي الْقُرْبَى وَفِى الرَّقَابِ وَفِى سَبِيْلِ اللّه وَابْنِ السَّبِيْل وَالضَّيْفِل لاَجُنَاحَ عَلَى مَنْ وَلِيَهَا أَنْ يَأْكُلَ مِنْهَا بِِالْمَعْرُوْفِ اَوْيُطْعِمَ صَدِيْقًاغَيْرَمُتَمَوَّلٍ فِيْهِ.

Artinya:

“dari ibnu Umar ra berkata, bahwa sahabat umar ra memperoleh sebidang tanah dikhaibar, kemudian menghadap kepada Rasulullah untuk memohon petunjuk. Umar berkata: ya Rasulullah, saya mendapat sebidang tanah di khaibar, saya belum pernah mendapatkan harta sebaik itu, maka apakah yang engkau perintahkan kepadaku? Rasulullah menjawab: bila kamu suka, kamu tahan(pokoknya) tanah itu, dan kamu sedekahkan (hasilnya). Kemudian Umar melakukan shadaqah, tidak dijual, tidak dihibahkan dan tidak pula di wariskan. Ibnu Umar berkata: Umar menyedekahkannya kepada orang fakir, kaum kerabat, budak belian, sabiliiah, ibnu sabil dan tamu. Dan tidak dilarang bagi orang yang menguasai tanah wakaf itu (mengurus) untuk makan dari hasilnya dengan cara baik (sepantasnya)atau makan dengan tidak bermaksud menumpuk harta”.

Ada perbedaan kosa kata periwayatan pada akhir matan hadis yaitu satu riwayat menggunakan kalimat (غَيْرَمُتَمَوَّلٍ فِيْهِ) : tidak menumpuk harta atau tidak berlebih-lebihan (sesuai dengan kebutuhan) dan ada riwayat yang menggunakan kalimat (غَيْرَمُتَأشَلٍ مَالا): tidak bermaksud menguasai (mengambil alih kepemilikan). Tetapi intinya sama mengendalikan batasan tingkat dan porsi konsumsi nadzir.

Dari Hadits inilah muncul berbagai penafsiran yang secara substantif memperbincangkan (1)Esensi wakaf, antara dzat benda dan manfaat benda, (2)status kepemilikan harta wakaf, (3)Konsekuensi kepemilikan memunculkan 3 larangan yang mengiringi perlakuan terhadap benda wakaf, yaitu tidak boleh dijual, dihibahkan, dan diwariskan, (4)kemestian adanya nadzir, yang memiliki hak konsumsi, dengan syarat tidak berlebihan dan tidak bermaksud mengambil alih kepemilikan, (5)benda bergerak dan tidak bergerak, yang belakangan memunculkan wacana wakaf tunai,dan (6)wakaf permanen dan wakaf temporal.

2. WAKAF DALAM PERSPEKTIF HUKUM NASIONAL

Disisni menganalisis berbagai hal seputar wakaf berdasarkan UU No.41 Tahun 2004 tentang wakaf dan terkadang mengambil dari aturan Hukum Nasional lain dengan porsi seperlunya saja seperti Peraturan Pemerintah (PP) atau Instruksi Presiden (Inpres). Beberapa peraturan yang menaungi wakaf dimunculkan dalam tulisan ini, karena sesuai dengan bunyi Pasal 70 UU No.41 Tahun 2004, bahwa:

Semua peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai perwakafan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan atau belum diganti dengan peraturan yang baru berdasarkan Undang-Undang ini”.

Pembahasan ini di awali dengan pengertian, tetapi perlu di ingat bahwa pengertian atau definisi wakaf secara institusional pun beragam. Keragaman definisi ini sebagai akibat dari perbedaan penafsiran terhadap institusi wakaf sebagimana yang dilakukan oleh para mujtahid dan yang pernah diperaktekan, dan oleh masyarakat Islam.

Pada mulanya, definisi wakaf di Indonesia lebih cenderung kepada definisi yang dikemukakan oleh Syafi’iyah. PP No.28 Tahun 1977 tentang perwakafan Tanah Milik, Pasal 1 (1) berbunyi bahwa:

Wakaf adalah perbuatan Hukum seseorang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari harta kekayaannya yang berupa tanah Milik dan melembagakannya untuk selama-lamanya untuk kepentingan peribadatan atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Agama Islam”.

Sementara dalam Inpres No.1 tahun 1991 tentang penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam, Pasal 215 (1) berbunyi bahwa:

Wakaf adalah perbuatan Hukum seseorang atau Sekelompok Orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari harta benda miliknya dan melembagakannya untuk selama-lamanya untuk kepentingan ibadat atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam”.

Jika membandingkan keduanya antara PP No.7 Tahun 1977 dan Inpres No.1 Tahun 1999 terlihat pada jenis benda wakaf. Dalam PP disebutkan bahwa benda wakaf adalah tanah milik. Sedangkan dalam Inpres disebutkan bahwa benda wakaf adalah benda milik. Dalam Inpres menunjukan bahwa benda yang dapat diwakafkan itu bukan saja hanya tanah milik, melainkan juga dapat berupa benda milik lainnya, yang menurut tafsir terhadap Inpres tersebut bisa benda tetap (tak bergerak) yang disebut al-‘aqr, atau benda bergerak yang disebut al-musya’.

Dinamika sosial, desakan public dan perubahan paradigma berfikir yang semakin meluas memandang wakaf “memaksa” lahirnya UU No.41 tentang wakaf sebagai payung Hukum yang lebih kuat bersekala Nasional. UU tersebut mendefinisikan bahwa:

“Wakaf adalah perbuatan Hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut Syari’ah”.[4]

Definisi ini tergolong definisi yang cukup longgar dan mengakomodasi perbedaan pendapat dikalangan ahli fiqh dan mempertimbangkan pengembangan objek wakaf demi kemaslahatan Umat. Beberapa catatan yang dapat dikemukakan adalah:

1. Fleksibilitas bentuk objek wakaf dalam Inpres sebenarnya sudah mengakomodir semua pandangan ahli Fiqh, tetapi tertutupi oleh pandangan hierarkhi terhadap pandangan hukum di Indonesia, bahwa Peraturan Pemerintah (PP) lebih tinggi daripada Instruksi Presiden (Inpres), sehingga dengan lahirnya UU tersebut Fleksibilitas tersebut lebih kuat payung Hukumnya.

2. Kendala fanatisme madzhab yang kuat di akar rumput dalam meyakini objek wakaf adalah tanah (yang ia termasuk barang tak bergearak), sehingga impelementasi belum berjalan mulus.

3. Durasi waktu dimunculkan mengakomodasi madzhab Maliki yang menafsirkan adanya wakaf temporal.

4. Kata “keperluan umum” dirubah “kesejahteraan umum” mencerminkan sasaran final wakaf adalah masyarakat dapat menikmati wakaf sebagai salah satu media yang bisa mensejahterakannya.

5. Kata “Agama Islam” atau “Islam” dirubah menjadi “Syariah”.[5]

Dalam peraturan perundang-undangan (hukum nasional), unsure (rukun) wakaf tidak jauh berbeda dengan penambahan-penambahan tertentu. Mengenai wakif, syarat tidak jauh berbeda denga uraian fiqh, hanya UU No.41 Tahun 2004 menambahkan syarat (1) tidak terhalang melakukan perbuatan hukum, (2) pemilik sah harta benda wakaf.[6] Dua syarat tersebut diakomodasi dari berbagai pendapat ulama fiqh.

Dalam UU tidak menyebutkan kata muslim sebagai syarat wakif, sehingga non muslim pun bisa menjadi wakif. Pada tanggal 13 September 2004, Panitia Kerja Pembahasan RUU Wakaf yang terdiri dari Pemerintah dan DPR RI telah menyepakati untuk menghapus syarat “muslim” sebagai wakif. Penghapusan muslim sebagai syarat menjadi wakif bertujuan untuk menghindari sebuah paradox, karena dalam sejarah Islam dan Hadits, bahwa wakaf yang diberikan oleh wakaf non muslim sah, artinya wakaf tersebut diterima. Hanya saja ada catatan bahwa wakaf yang diberikan oleh wakif non muslim hendaknya diarahkan untuk hal-hal yang terkait dengan kemaslahat umat bukan diperuntukan untuk tempat-tempat ibadah.[7]

Penghapusan syarat “muslim” tersebut dilakukan oleh Pemerintah dan DPR RI serta dari unsure agamawan diwakili oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Untuk mencapai keputusan tersebut, tim tersebut telah melakukan penelitian tentang pendapat dari berbagai madzhab, yang kemudian ditemukan keterangan bahwa wakaf yang berasal dari non muslim itu bisa diterima.

Sementara, pemaknaan istilah mauquf ‘alaih sering disebut dengan istilah nadzir sebagai pelaksana dan pengelola wakaf. Secara spesifik dalam UU No.41 Tahun 2004, pemaknaan mauquf ‘alaih dipisahkan lebih tegas dengan mencantumkan nadzir sebagai pengelola dan dengan tegas disebutkan peruntukan harta benda wakaf, yang konsekuensi menimbulkan ketatnya perubahan terhadap peruntukan harta wakaf dikemudian waktu.[8]

Disebutkan juga jangka waktu wakaf, unsure ini erat kaitannya dengan pendapat Imam Maliki, yang memunculkan wakaf permanen dan wakaf temporal. Unsur jangka waktu ini muncul karena perluasan makna objek wakaf sehingga dibolehkannya wakaf harta bergerak seperti uang, yang dalam istilah modern penyalurannya dalam bentuk Investasi.

Kembali ke konteks Mauquf ‘alaih sebagai nadzir, ada beberapa hala yang harus dicermati, Pertama, Nadzir non Muslim. Dalam kasus nadzir non muslim, UU No.41 tahun 2004 menegaskan bahwa nadzir harus muslim, pertimbangannya adalah persoalan distribusi yang bermuara pada factor politis keagamaan, termasuk di dalamnya nadzir yang berbentuk organisasi maupun badan Hukum. Kedua, porsi konsumsu nadzir terhadap harta benda wakaf.[9] Berdasarkan Hadits Umar ibn Khattab ra tentang wakaf tanah khaibar diperkenankan nadzir mengkonsumsi hasil harta benda wakaf, hanya saja batasannya adalah: (1) Tidak berlebih-lebihan, (2) Tidak ada niat untuk menguasai –mengambil alih status kepemilikan-. Dalam UU disebutkan porsi konsumsi adalah 10% dari hasil harta wakaf.

Mengenai benda wakaf, di Indonesia terjadi perluasan makna. Pada mulanya terbatas pada tanah yang termasuk kategori harta yang taj bergerak. Dalam UU No.41 Tahun 2004 pasal 16 membolehkan wakaf dengan harta bergerak maupun dengan harta tak bergerak. Kategori yang dijelaskan dalam undang-undang tersebut antar lain:

1. Benda tidak bergerak, meliputi:

a. Haka atas Tanah

b. Bangunan/bagian bangunan yang berdiri di atas tanah tersebut

c. Tanaman/benda lain yang berkaitan dengan tanah

d. Hak milik atas suatu rumah susun

e. Benda tidak bergerak sesuai Syariah dan UU.

2. Benda bergerak, seperti uang, logam mulia, surat berharga, kendaraan hak atas kekayaan intelektual, hak sewa dan benda bergerak sesuai dengan Syariah dan UU, termasuk mushaf, buku, kitab.

Dari segi akadnya, wakaf memang diakui sebagai akad sepihak dan termasuk akad Tabarru’, yang tidak membutuhkan Qabul dari nadzir. Tetapi terhadap akad tersebut harus disikapi secara hati-hati Nadzir harus dilihat Profil, komitmen, reputasi, kredibilitas, kapabilitas, dan terpopuler adalah track record (rekam jejak) sehingga akuntabilitas publiknya dapat dipertanggungjawabkan. Hal terpenting pula terkait dengan akad adalah dimungkinkan timbulnya sengketa yang memerlukan pembuktian untuk keabsahan sehingga dipersyaratkan adanya (1) dokumen, dan (2) saksi. Keduanya bukan menjadi rukun tetapi alat bukti yang harus ada dan dapat menguatkan keberadaan adanya akad (penyerahan) wakaf. Hal inilah yang sering terjadi di masyarakat, dan ini di duga adalah pengaruh madzhab Syafi’i.[10]



[1] Juhaya S.Praja (1995). Perwakafan di Indonesia: Sejarah, Pemikiran,Hukum dan Perkembangannya. (Bandung: Yayasan Piara), hal.6.

[2] Abu Zahrah (1971). Muhadharat fi al-Waqf. (Beirut: Dar al-Fikr al_’Arabi), hlm.41.

[3] Wahbah Zuhaili. Al-Fiqh al-Islamy, hal.7599-7502; Muhammad Abid Abdullah Al-Kabisi (2004). Hukum Wakaf: Kajian Kontemporer Pertama dan Terlengkap tentang fungsi dan Pengelolaan Wakaf serta Penyelsaian atas Sengketa Wakaf, Terj. Ahrul Sani Faturrahman & Rekan KMCP.(Jakarta: Dompet Dhuafa Republika & IIMaN), hlm.38-60.

[4] UU No.41 tahun 2004 tentang Wakaf pasal 1 ayat (1).

[5] Menurut Dawam Rahardjo, pengertian Syariah itu tidak identik dengan Syariah itu sendiri. Syariah dalam pengertian kedua adalah wahyu Tuhan itu sendiri dan Sunnah Rassul yang pengertiannya sama dengan Thariq, sabil, dan manhaj, yaitu jalan (way). Sedangkan Syariah dalam arti kedua masih memerlukan penjelasan dan interpretasi. Setelah berbentuk interpretasi dalam bentuk Syariah yang pertama, maka ia telah menjadi ilmu yang kebenarannya relative dank arena itu beragam. Disinalah Syariah yang pertama telah mengalamai rasionalisasi menurut metode ilmiah. Hasilnya adalah konsep bank Syariah. Sementara Istilah “Bank Syariah” sendiri sebenarnya adlah khas Indonesia yang tidak dijumpai di Negara-negara lain, yang seringnya dengan sebutan “Bank Islam” (Islamic bank). Hal inilah yang menunjukan bahwa bank Islam telah mengalami kontekstualisasi makna. Lihat M. Dawam Rahardjo (2004). “Menegakan Syariat Islam di bidang Ekonomi” dalam Adiwarman Azwar Karim. Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan. (Jakarta: Rajawali Press), hlm. xx.

[6] UU No.41 Tahun 2004 tentang Wakaf pasal 8 ayat (1).

[7] Republika, Jum’at, 17 September 2004, “Panja RUU Wakaf sepakat, Non-Muslim bisa jadi wakif”.

[8] Harta benda wakaf tidak boleh dijadikan jaminan, disita, dihibahkan,dijual, diwariskan, ditukar, atau dialihkan dalam bentuk hak lainnya. Terhadap harta benda wakaf yang ditukar baik status, fungsi dan fisiknya atas persetujuan Badan Wakaf Indonesia dengan salah satu pertimbangannya adalah kepentingan umum menyesuaikan Rencana Umum tata Ruang (RUTR) sesuai dengan UU dan tidak bertentangan dengan Syariah. UU No.41 tahun 2004 tentang Wakaf pasal 40,41.

[9] Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam pasal 11, nadzir dapat menerima imbalan dari hasil bersih atas pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf yang besarnya tidak melebihi 10%. UU No.41 tahun 2004 tentang wakaf pasal 12.

[10] Juhaya S. Praja. Perwakafan di Indonesia, hlm.3.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar